Kamis, 13 Oktober 2016

Kisah Perjalanan Sang Pertapa Tua (4)

Walaupun Bapak Tarban adalah seorang ahli hitung kejawen yang diakui
dan dituakan oleh masyarakatnya, namun dia sendiri sering menghadapi
keanehan pada dirinya sendiri pada waktu di menggelar hajatan
pernikahan atau khitanan anak-anaknya. Bapak Tarban selalu menggelar
pertunjukkan wayang kulit. Walaupun rumahnya terbuat dari pagar bambu
dan beratapkan rumbia, tapi selera kesenian dan kecintaannya pada
wayang kulit membuat dia selalu menggelar pertunjukkan wayang kulit.
Dan dengan perhitungannya sendiri yang "otak atik mathuk" maka
pagelaran wayang pun diselenggarakan dalam suasana yang meriah. Namun
sudah hampir dipastikan dan masyarakat sekitar juga sudah sering
menyaksikannya kalau pertunjukkan wayang kulit yang me riah itu
bakalan kalang kabut karena diguyur hujan petir dan badai sampai
terjadi banjir. Hal yang sama juga terjadi kalau Bapak Tarban sedang
memayu welit / mengganti atap rumbia rumah miliknya, walaupun
sebenarnya pada waktu hajatan maupun memayu welit sedang musim
kemarau!.

Pada suatu waktu saya bertanya kepada Bapak Tarban, apakah Bapak
Tarban percaya pada adanya Allah. Maka diapun menjawab : Gusti Allah
(dengan lafal gusti Alah) itu ini, Gusti Allah itu ini, jawabnya
dengan tatap mata yang tajam kepadaku sambil menunjuk pada dada beliau
sendiri yang kelihatan kurus dan keriput karena Bapak Tarban
berperawakan kurus namun jangkung, berkumis tebal dan panjang, namun
selama di rumah Bapak Tarban jarang mengenakan baju atau kaos karena
sering mengeluh kegerahan. Yang dia kenakan hanyalah kathok kolor
komprang khas orang jawa. Kemudian saya tanyakan lagi : apakah Bapak
mengaku sebagai Gusti Allah? Maka jawabnya : Ya! Akulah Gusti Allah,
karena tanpa Aku, Gusti Allah tak ada…
Sayapun terdiam, diapun terdiam, tenggelam dalam gelombang kesunyian
yang sebenarnya ada gejolak membara antara mendakwa Bapak telah
tersesat ataukah telah bodohkah aku memahami semua perkataannya.

Saya lantas berfikir, tidak jauh juga Bapakku ini dari Fir'aun, tapi
saya juga tidak lantas mendakwa beliau seperti itu, saya mencoba
memahami perkataannya karena saya juga pernah belajar filsafat dan
tasawuf yang sering mendengar ucapan seperti itu, barangkali Bapak
Tarban sedang dalam puncak kemakrifatan dan dalam fase wihdatul wujud
seperti yang dialami oleh Syekh Siti Jenar yang terkenal dengan ajaran
Manunggaling Kawulo lan Gusti itu, ataukah barangkali Bapak Tarban
sedang berada di jurang kebodohan yang paling dalam sehingga keluar
perkataan dan pengertian keberadaan Allah tergantung pada keberadaan
dan pengakuan manusia yang maha lemah dan maha bodoh, Allah ada karena
diakui keberadaannya oleh manusia dan Allah menciptakan manusia agar
Allah dikenal keberadaannya dan diakui eksistensinya. Sehingga
keberadaan Allah tergantung pada pengakuan manusia. Refleksinya
manusia itu sendiri adalah Gusti Allah, begitukah aqidah bapakku?
Entahlah. Pada posisi manakah Bapak Tarban pada saat itu, dan ketika
hal ini saya tanyakan pada seorang Ustadz, maka jawabnya hanya singkat
: Apakah Bapak Tarban bisa menciptakan makanan untuk dirinya sendiri ?

Pada suatu hari saya bertanya kepada Bapak Tarban tentang kenapa dia
mau melakukan pertapaan selama 25 tahun dengan bersusah payah, dan
apakah yang akan dia dapatkan, maka jawab beliau bahwa melakukan topo
broto adalah amanat dari Yang Maha Kuasa dan setelah selesai melakukan
pertapaan maka dia akan mendapatkan kanugrahan atau karunia berupa
keagungan.

Dan ketika saya tanyakan kepadanya apakah kanugrahan yang akan dia
dapatkan, maka Bapak Tarban menjawab bahwa kanugrahan itu tidak akan
dia ceritakan kepada siapapun karena itu adalah hal ghaib yang akan
mendatangkan ketakaburan bila dia mengungkapkannya.
Kali ini Bapak Tarban tidak mau untuk menceritakan perihal masa depan
dirinya sendiri walaupun mata batinnya mampu menembus
kejadian-kejadian yang akan menimpa tanah airnya, barangkali sebuah
pantangan, atau sebuah teka-teki besar karena mungkin jiwa manusia
adalah sebuah miniatur alam semesta yang hakikatnya adalah lebih luas
dan dalam dari alam semesta itu sendiri. Tetapi sempat juga dikatakan
bahwa saya adalah sebagian kecil dari anugerah itu, padahal saya tidak
tahu apa keistimewaanku di hadapannya, namun yang saya rasakan saya
adalah menantu yang disayang dia walaupun pandangan batin kita
bertolak belakang, dan padahal juga saya melamar anaknya yang bernama
Rugiyati tidak membawakan apa-apa untuknya sebagai tanda hormat calon
menantu kepada calon mertuanya. Saya melamar anaknya seorang diri
karena memang hubunganku dengan calon istriku tidak mendapat restu
dari kedua orang tuaku, dan saya juga yang menentukan jam, tanggal dan
hari pernikahanku walaupun saya tahu Bapak Tarban adalah seorang ahli
hitung, tapi diapun menuruti keinginanku. Juga saya ceritakan
kepadanya tentang tidak direstuinya hubunganku dengan anaknya, dan
terpaksa saya tempuh jalan pintas untuk kawin lari.... (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar