Kamis, 13 Oktober 2016

Kisah Perjalanan Sang Pertapa Tua (3)

Kalau kalian bangga mengibarkan bendera merah putih, apakah kalian
benci melihat orang mengibarkan bendera masyarakat seluruh dunia yang
warna-warni karena kecintaan pada perdamaian dan kasih sayang?

Dan atas jawaban dan alasan yang dikemukan oleh Bapak Tarban , Bapak
Tarban pun dipulangkan ke rumah tanpa cidera apapun, komandan dan anak
buahnya pun memberi hormat kepadanya atas alasan-alasannya itu.

Sampai beberapa waktu, kadang ada anggota koramil yang datang
bersilaturahmi ke rumah untuk meminta wejangan-wejangan dari Bapak
Tarban, ada pula yang meminta doa dan berkah dari beliau. Namun saya
kira hal itu dilakukan karena tentara memiliki misi intelijen untuk
memastikan keterlibatan Bapak Tarban pada gerakan-gerakan tertentu
yang menjurus pada makar yang membahayakan negara. Setelah Para
tentara meyakini tidak ada pada Bapak Tarban hal-hal yang
mencurigakan, akhirnya merekapun tidak pernah bersilaturahmi lagi, dan
membiarkan Bapak Tarban kembali menggeluti dunia spiritualnya sebagai
seorang pertapa tua
Tua yang hidup dalam kesendirian, di kamar kecil, di rumah pagar bambu
beratapkan daun rumbia.

Saya yang hidup serumah dengan Bapak Tarban, yang dididik dan
dibesarkan dengan latar belakang pendidikan islam kadang selalu
menentang dan berbeda pandangan dengan beliau, karena memprediksi
kejadian di masa yang akan datang adalah perkara yang ghaib, dan
perkara ghaib adalah menjadi urusan Allah, kalau kita meramalkan
kejadian masa depan yang bersifat ghaib adalah mendahului kehendak
Allah dan bisa terjerumus ke jurang kesyirikan yang besar dosanya.
Dalam menghadapi semua prediksi-prediksi beliau, saya selalu membantah
dalam hati dan berdoa pada Allah agar segala sesuatu yang buruk tidak
menimpa negara kita yang imbasnya adalah timbulnya kesusahan pada
rakyat juga, walaupun secara lahiriah selalu menganggukan kepala
terhadap ucapan-ucapan beliau sebagai tanda hormat anak kepada orang
tuanya. Tetapi Bapak Tarban adalah orang yang tegas, kalau sedang
meramalan sesuatu kejadian, maka dia akan Berbicara seperti seorang
warok yang sedang beradu mulut ketika akan bertanding dengan musuhnya,
tatapan matanya yang tajam dan memerah, suaranya lantang menggelegar,
dan dia berani bersumpah dengan taruhan memotong lidah bahkan nyawanya
sekalipun. Dan pernah ketika dia bersumpah, disertai bunyi petir yang
menggelegar, entah karena kebetulan saja, atau karena petirpun
mengamini ucapan sumpah beliau.

Memahami watak dan tabiat seperti itu, maka saya mengalah dan
menghargai pandangan-pandangan beliau. Memang yang selalu Bapak Tarban
prediksikan selalu menjadi kenyataan, dan dia mengklaim bahwa
ramalannya bersumber dari Kitab Jayabaya, padahal Bapak Tarban sendiri
tidak mempunyai kitab tersebut, apalagi diapun tidak dapat membaca dan
menulis , tapi katanya dia sudah "ngawaki" (bersatu dan merasakan)
Kitab Jayabaya tersebut melalui lelakon batinnya.

Selama dalam pertapaannya, saya memahami bahwa Bapak Tarban adalah
seseorang yang tergiring pada pemahaman Islam Sejati oleh "Gumelaring
Jagat" yang diklaim sebagai guru sejatinya. Dia mempercayai kebenaran
Islam seperti yang dibawa oleh Nabi Muhammad, namun kepercayaan dia
hanyalah sebatas hakikat, tanpa melakukan sederetan syariat seperti
rukun islam dan sebagainya, ketika saya hendak ambil air wudhu untuk
sholat, dialah yang memompakan airnya karena sumur kami adalah sumur
pompa bantuan pemerintah namun tidak memiliki bak penampungan untuk
berwudhu. Ketika saya mengajak Bapak Tarban untuk sholat, dia katakan
: kau amalkan yang menjadi keyakinanmu, dan saya lakukan yang menjadi
keyakinanku. Mungkin suatu pandangan hidup yang demokratis, tapi dia
katakan : orang jawa ojo lali jawane, orang jawa jangan melupakan
kejawen, juga harus melakukan adat istiadat secara jawa seperti
masyarakat pada umumnya, seperti perhitungan hari baik dan buruk pada
waktu melakukan hajatan mendirikan rumah, perkawinan, bepergian dsb.
Kemudian saya tanyakan kepadanya : bagaimana kalau saya sebagai orang
jawa tidak meyakini dan tidak melakukan kejawen sebagaimana Orang jawa
pada umumnya? Maka jawab beliau : kalau begitu kamu harus memiliki
keyakinan yang lebih kuat dari kejawen, karena kejawen memiliki
kekuatan baik dan buruk yang bisa mendatangkan bala bencana bila
diyakini tapi dilanggar.
Kalau begitu saya harus memiliki keyakinan yang kuat karena saya tidak
meyakini kejawen. Maka Bapak Tarban pun membenarkan ucapanku.
Walaupun Bp Tarban adalah seorang ahli hitung kejawen yang diakui dan
dituakan oleh masyarakatnya, namun dia sendiri sering menghadapi
keanehan pada dirinya sendiri pada waktu di menggelar hajatan
pernikahan atau khitanan anak-anaknya. Bp Tarban selalu menggelar
pertunjukkan wayang kulit. Walaupun rumahnya terbuat dari pagar bambu
dan beratapkan rumbia, tapi selera kesenian dan kecintaannya pada
wayang kulit membuat dia selalu menggelar pertunjukkan wayang kulit.
Dan dengan perhitungannya sendiri yang "otak atik mathuk" maka
pagelaran wayang pun diselenggarakan dalam suasana yang meriah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar