Kamis, 13 Oktober 2016

Kisah Perjalanan Sang Pertapa Tua (5)

Pada waktu hari pernikahanku yang dilangsungkan di kantor KUA, yang
hari dan tanggalnya saya sendiri yang menentukan, Bapak Tarban
bertindak sebagai wali, hatiku sedih, peristiwa bersejarah dalam
hidupku berlalu tanpa hiasan janur kuning, tanpa baju pengantin, tanpa
pelaminan, tanpa taburan kembang melati, tanpa alunan doa dan restu
dari kerabat dan bila kedua orang tuaku mengetahui hal ini, inilah
anak durhaka, sudah pasti.
Tapi acara pernikahan sendiri berjalan lancar disaksikan dua orang
saksi dan cuaca yang cerah, tanpa hujan dan petir, seperti yang biasa
Bapak Tarban alami ketika menikahkan anak-anaknya selalu disambut
dengan hujan dan petir. Padahal 5 tahun kemudian setelah pernikahanku,
ketika Bapak Tarban menikahkan kedua anaknya sekaligus yaitu Casmono
dan Murani, saya dapat menyaksikan sendiri betapa perhelatan besar
upacara pengantin menjadi kalang kabut karena hujan dan angin, bahkan
loudspeaker yang dipasang di ujung tiang bambu pun disambar petir.
Padahal saat itu sedang musim kemarau!.

Pada saat Bpk Tarban sedang menjalankan pertapaan di rumahnya, Ibu
Dri'ah, istrinya yang selam itu menemani dan mengurusi segala
keperluan hidupnya mengalami sakit keras. Berbagai usaha dilakukan
oleh Bapak Tarban dan seluruh kelurganya untuk mencarikan obat bagi
Ibu Dri'ah. Namun usahanya pun sia-sia, mungkin karena sudah takdir
Allah Yang Maha Kuasa, Ibu Dri'ah pun meninggal di pangkuan Bapak
Tarban disaksikan anak-anak tercintanya yang menangisi kepergiannya.

Dalam berbagai kesempatan Bapak Tarban sering menceritakan kepada saya
tentang betapa besar cinta beliau kepada istrinya, dan beliau amat
sedih dan menyesal karena istrinya yang telah menemaninya dalam suka
maupun duka, yang telah berjuang bersama membangun rumah tangga dan
membesarkan anak-anaknya, telah pergi menghadap Ilahi sebelum Bapak
Tarban menyelesaikan lelakon batinnya.

Dalam berbagai kesempatan, saya juga pernah mengajak Bapak Tarban
untuk berziarah ke makam Ibu Dri'ah di Pemakaman Umum Kapurinjing yang
letaknya tidak jauh dari rumah. Namun Bapak Tarban selalu menjawab :
apakah kamu ingin Bapakmu ini pingsan di samping makam Ibumu ?
Atas jawabannya itu, sayapun memahami perasaan beliau yang walaupun
memiliki tabiat yang keras, tapi kalau sudah membicarakan masa lalu
dengan istrinya, sering beliau menitikkan air mata.

Sesungguhnya, saya menantikan dan ingin menjadi saksi apa yang akan
Bapak Tarban dapatkan dari kanugerahan itu di penghujung pertapaannya.
Tahun demi tahun hingga menjelang tahun 2000 sebagaimana janji Bapak
Tarban untuk mengakhiri pertapaannya. Tapi setelah tahum 2000 tiba,
saya tidak menyaksikan Bapak Tarban secara lahiriyah sebagai orang
yang mendapatkan kanugerahan, apalagi di usianya yang sudah lanjut
meski guratan wajah kerasnya masih jelas kelihatan. Yang saya saksikan
dan saya rasakan adalah imbas kesengsaraan dari badai krisis moneter
yang menjalar ke berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial,
budaya dsb. Inilah yang selalu oleh Bapak Tarban digembar-gemborkan
sebagai Perang Brotoyudho Joyobinangun.
Bila sesekali saya membatin ( karena tidak enak untuk bertanya )
tentang apa yang Bapak Tarban dapatkan dari pertapaannya, maka tanpa
ada yang mengajak bicarapun Bapak Tarban seperti tahu kegundahanku,
dan dia mengatakan : JONGKO JANGKAHE AKU WIS TAK JONGKOTI.

Barangkali Bapak Tarban hendak menerangkan kesempurnaan kehidupannya
lahir batin dalam bahasa yang njawani, tapi maknanya terlalu dalam
untuk saya selami.

Bapak Tarban telah mengakhiri perjalanan spiritualnya pada tahun 2000
setelah 25 hidup menyendiri di kamar rumahnya yang terbuat dari
lempeng kayu, karena sejak tahun 1998 telah ikut pindah bersama saya
dan istriku ke kapurinjing yang lebih dekat ke Pemakaman Umum
Kapurinjing.
Setelah mengakhiri pertapaannya, kehidupan Bapak Tarban lebih tenang
dan tidak pernah meramal lagi. Hari-harinya disibukkan dengan makan
dan tidur, tetapi ada yang berubah secara drastis, mulutnya selalu
melafalkan kalimat Istighfar dan dua kalimat Syahadat baik siang
maupun malam dengan lafal yang fasih, padahal selama menjalani
pertapaan belum pernah sekalipun kalimat-kalimat itu kudengar meluncur
dari mulutnya. Memang Bapak Tarban belum pernah sekalipun kulihat
mengerjakan sholat, tapi barangkali cahaya iman telah menitik di
kalbunya. (bersambung)

---
Jakarta,
16 Februari 2010 00:14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar