Kamis, 13 Oktober 2016

Kisah Perjalanan Sang Pertapa Tua (1)

Tahun 1975, Adalah Bapak Tarban, seorang petani dari Dusun
Kapurinjing, Desa Iser, Kec. Petarukan - Pemalang, pada suatu malam
pergi ke ladang untuk mengairi tanaman kedelai yang baru berumur
sekitar dua minggu. Biasanya dia menanam padi, tapi karena sedang
mendekati puncak musim kemarau sehingga dia menanam kedelai yang
relatif lebih tahan dari kekeringan.
Karena sudah larut malam dan air belum juga sampai ke bagian belakang
dari hamparan tanaman kedelainya yang luas, tapi dia tidak mau pulang
sebelum tanaman kedelai mendapat aliran air semua, akhirnya Bapak
Tarban pun sambil rebahan di atas pematang sawah sampai akhirnya
ketiduran.

Dalam tidurnya Bapak Tarban bermimpi bertemu seseorang yang memberikan
sebuah batu permata berwarna kemerahan dengan corak warna lima macam
sambil memerintahkan kepada Bapak Tarban untuk melakukan tirakatan
berupa Topo Broto selama 25 tahun.
Selama 25 tahun, mungkinkah…?

Setelah Bapak Tarban menerima wangsit untuk melakukan Topo Broto
selama 25 tahun, dia pikir adalah sesuatu perintah yang tidak masuk
akal dan tidak mungkin untuk dilakukan sebab merasa sebagai manusia
biasa yang tidak pernah mengenyam pendidikan baik formal maupun
informal, apalagi dia dilahirkan pada tahun 1921, dimana pada saat itu
rakyat Indonesia sedang dalam belenggu penjajahan yang sama sekali
tidak memperhatikan masalah pendidikan bagi rakyat biasa. Mengajipun
Bapak Tarban tidak bisa, apalagi memahami agama islam secara benar,

Dalam kekalutan batin antara mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan
keluarga dan menjalani kehidupan kerohanian sebagai seorang pertapa,
Bapak Tarban memutuskan untuk tetap menjadi manusia biasa yang
menjalani aktifitas kehidupan seperti orang kebanyakan, mencari
nafkah, memelihara ternak, pergi ke sawah sambil membantu istrinya Ibu
Driah yang berjualan makanan matang hasil palawija di pasar petarukan,
dan dia sama sekali tidak peduli dengan wangsit yang diterimanya,
karena menganggap wangsit itu hanyalah mimpi belaka untuk menggodanya.

Namun beberapa hari kemudian Bapak Tarban jatuh sakit yang
mengakibatkan dia harus beristirahat total dari segala aktifitas. Dan
dalam sakitnya itu Bapak Tarban kembali didatangi seorang tua yang
kembali memerintahkannya untuk menjalankan topo broto selama 25 tahun.

Dalam kebimbangan, antara menjalankan amanat dan tanggung jawab dia
sebagai kepala keluarga, akhirnya Bapak Tarban memilih untuk
menjalankan wangsit yang memerintahkannya untuk lelakon topo broto
selama 25 tahun. Bapak Tarban pun meminta keikhlasan istri tercintanya
untuk memberi ijin kepadanya untuk menjalani kehidupan kerohaniahan
sebagai seorang pertapa.

Pada tahun 1975, saat usia Bapak Tarban menginjak umur 54 tahun, pada
saat itu, sebagai persiapan untuk memulai kehidupan baru sebagai
seorang pertapa, Bapak Tarban menyerahkan penggarapan sawah miliknya
kepada anak-anaknya dan juga hewan-hewan ternak miliknya.

Bagaimana wujud pertapaan Bapak Tarban selama 25 tahun itu? Apakah
kita membayangkan bahwa Bapak Tarban bertapa di puncak gunung di dalam
gua sambil duduk bersila dan memejamkan mata tanpa makan dan minum?
Ternyata tidak. Dia melakukan pertapaan yang menurut kita adalah tidak
lazim, dia melakukan pertapaan atau kita sebut saja lelakon di dalam
rumahnya sendiri yang terbuat dari pagar bambu dan beratapkan daun
rumbia. Aktifitas pertapaannya adalan "makan dan tidur". Bangun tidur
langsung makan, sehabis makan tidur lagi. Kalau capek tidur dan tidak
ingin makan, maka dia duduk di kursi tua yang terbuat dari rotan
sambil memberi wejangan kepada keluarganya tentang hidup dan
kehidupan. Barangkali bagi kita tampak konyol lelakon seperti itu, dan
secara lahiriah tampak seperti orang malas. Tapi mungkin di dalam alam
tidurnya, dia sedang menjalani penggemblengan spiritual yang luar
biasa berat dari guru batinnya. Dan pernah pada suatu malam yang
sunyi, dari atap di atas kamar beliau keluar sinar Putih seperti sinar
lampu petromax memancar ke langit, dan orang-orang yang melihat sinar
itu kemudian mendatangi kamar beliau dan di dapatinya beliau sedng
tidur pulas.
Bapak Tarban juga menerangkan bahwa selama dalam pertapaannya, dia
belajar spiritual pada "Gumelaring Jagat" / alam semesta yang
diakuinya sebagai guru batinnya. Dan Bapak Tarban mengklaim dirinya
sebagai "Lanange Jagat" / putra dari alam semesta.

Adalah suatu peristiwa spiritual yang luar biasa yang di jalani oleh
Bapak Tarban , karena selama menjalani pertapaannya selama 25 tahun,
dia tidak pernah minum obat atau jamu walau sedang sakit, dan kalau
tepaksa diberi obat, akan muntah kembali, tidak pernah meminta
disediakan makan dan minum walaupun sedang lapar dan haus, tidak
pernah bekerja untuk orang lain yang menuntut bayaran, tidak pernah
melakukan akad jual beli, tidak pernah keluar rumah melewati batas
pagar rumahnya sendiri kecuali ke sungai untuk buang hajat, tidak
pernah menghadiri undangan hajatan/kenduri dari orang lain kecuali
kerabatnya sendiri. (bersambung)

- - -
Jakarta, 5 Februari 2010 22:54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar