Kamis, 13 Oktober 2016

Perjalanan Mencari Jalan (2)

Dalam perenungan yang panjang itulah, dua jawaban berhasil saya
temukan, kedua jawaban itu masing-masing saya dapatkan dari Bapak
kandungku dan Bapak mertuaku. Dari Bapak kandungku saya selalu ingat
wasiatnya pada waktu saya masih kecil yang mengatakan : kalau kamu mau
menuntut ilmu, maka amalkanlah ilmunya Nabi Muhammad, karena Nabi
Muhammad adalah manusia paling mulia yang paling disayang Allah..
Adapun dari Bapak mertuaku, saya bermimpi pada suatu malam bertemu
dengan Bapak mertuaku Bapak Tarban yang memelukku sambil menangis
sambil mengatakan : ilmumu sama dengan ilmuku.

Memang mimpi tidak selamanya menjadi petunjuk, dan belum tentu yang
memelukku dalam mimpi itu adalah Bapak Tarban, dan penilaianku pada
saat itu Bapak Tarban adalah salah seorang tokoh islam sejati yang
disegani dan dihormati para penganut kejawen. Makna mimpi bertemu
Bapak Tarban dan ingatanku pada wasiat ayahku adalah dua hal yang
berbeda dan amat bertolak belakang, yang menggambarkan perjalanan
hidupku yang berada dipersimpangan jalan, jiwa yang terjerembab dalam
kebimbangan, keberanian yang terlanjur bernama nestapa. Dan bagai
tersentak dari mimpi buruk disiang bolong, bibirku berucap lirih :
astaghfirullah, aku telah tersesat, ya Allah, ampuni kekhilafanku,
maafkan ketidakberdayaanku,
maafkan kejahiliahanku, bibir ini tidak dapat menangis, tapi yang
memandang ini mengeluarkan air mata panas, panas sekali…

Sehari setelah saya menjalani proses pelunturan semua
keyakinan-keyakinan kejawen dari jiwa ragaku, terasa batin ini menjadi
lega karena saya telah memilih keyakinanku sendiri untuk kembali ke
jalan Islam dengan sebenar-benarnya, meski untuk menjadi seorang
muslim yang benar-benar kaffah adalah sangat berat, namun paling tidak
ada i'tikad untuk berusaha sesuai kemampuan.

Hingga pada waktu menjelang sholat maghrib, saya bergegas menuju
Musholla kecil yang tak jauh dari rumah untuk mengumandangkan adzan
dan sholat maghrib berjamaah. Kebetulan sore itu saya menjadi imam
sholat. Dan ketika sedang khusuk memimpin sholat, mataku yang menatap
ke arah sajadah sekilas melihat bayangan berkelebat di hadapan saya.
Antara terkejut dan penasaran, maka mataku memandang lurus ke depan ke
arah tembok pengimaman, dan saya terkejut bukan kepalang ketika saya
melihat sesosok Semar berdiri sambil menari-nari, berjumpalitan, putar
kanan putar kiri, sambil tertawa dengan gaya tarian bagai Hanoman.
Bacaan Surat Al Fatihah pun sempat terhenti sebentar sampai kemudian
saya tersadar bahwa saya sedang memimpin para jamaah untuk menyembah
Allah, bukan menyembah Semar…
Ya Allah, maafkan kekhilafanku, maafkan kejahiliahanku, Ya Allah,
astaghfirullah…

Sebenarnya, apa yang nampak dalam pandanganku seperti sosok Semar,
belum tentu semar yang sesungguhnya, bisa juga semar yang
sesungguhnya. Namun saya tidak memperdebatkan pandanganku sendiri,
apalagi pandangan mata batin, karena penglihatan mata batin amat
sangat penuh tipuan, syak dan prasangka, sama seperti mata lahir kita
melihat sepasang muda-mudi sedang duduk berdua, kita menyangka mereka
sedang pacaran, atau sedang berbicara politik, atau bahkan sedang
merencanakan pembunuhan, maka prasangka kita tidak ada yang benar,
kecuali mereka yang melakukannya sendiri, dan satu hal yang pasti,
alam ghaib hanya Allah yang mengetahui hakikat dan kunci kuncinya.
Jika kita mencoba memasukinya, kebanyakan kita akan terjebak di
dalamnya..

Wallahu a'lam

---
2 Maret 2010 23:16
By Muhammad Saroji
- Majalah Sastra - Majalahsastra.com
© Copyright - All rights reserved

Tidak ada komentar:

Posting Komentar