Kamis, 13 Oktober 2016

Perjalanan Mencari Jalan (1)

Semar, pernahkah Anda melihat Semar, sosok lelaki tua bertubuh bundar
yang ada di pewayangan ?
Barangkali sebagian dari kita beranggapan bahwa sosok Semar dan
tokoh-tokoh wayang yang lain hanyalah hasil sebuah pemikiran
imajinatif yang kemudian melahirkan maha karya seni dan budaya yang
adi luhung di tanah Jawa. Saya sendiri tidak mengetahui hakikat Semar
yang sebenarnya karena saya bukan dalang, bukan pujangga, bukan pula
sastrawan. Yang akan saya ceritakan hanya sebatas pengalaman pribadi
yang pernah melihat sosok Semar persis seperti yang kita lihat di
pewayangan.

Adalah berawal dari keinginan untuk menjadi manusia yang kuat lahir
dan batin, maka pada waktu masih duduk di bangku sekolah saya
mengikuti kegiatan seni bela diri. Berbagai tempaan baik lahir maupun
bathin telah saya lalui dengan tekun dan sabar. Meski demikian saya
belum pernah berkelahi dengan orang lain karena saya sudah kenyang
berkelahi adu tanding dengan teman-teman seperguruan pada waktu
latihan, juga karena pesan guruku agar jadi seorang pesilat jangan
sombong apalagi meremehkan orang lain. Lebih baik ber-rendah diri agar
selamat. Keselamatan adalah tujuan dari orang belajar ilmu di
persilatan. Demikian pesan guruku.
Toh di perguruan saya juga bukan pesilat yang tangguh, hanya sekedar
bisa jurus sedikit, tangkis kanan tendang kiri, kemudian salto, tapi
saya lebih senang pada pelajaran tenaga dalam yang bersumber dari
latihan nafas disertai dzikir, tentu dzikir secara islami.

Setelah lulus sekolah, saya melanjutkan kegemaranku menimba ilmu
kebatinan dan kanuragan ke beberapa orang yang saya anggap mumpuni di
bidang kebathinan maupun kejawen.

Setelah menikah, berangsur-angsur saya mulai mengurangi kegemaranku
untuk ngelmu dan lebih fokus pada urusan materi agar dapur rumah
tangga tetap ngebul. Karena kegemaranku, Kadangkala ada tetangga yang
sakit dan meminta tolong padaku, lalu hanya dengan segelas air putih
yang telah diberi doa, sembuhlah orang itu. Tapi bukan menjadi dukun
atau paranormal orientasiku, karena menjadi dukun atau paranormal
bertentangan dengan nuraniku, saya lebih seneng menjadi guru ngaji
karena itu adalah ibadah dan mempunyai makna dakwah dan perjuangan.

Pada suatu hari, hatiku bertanya-tanya mengapa kadang-kadang saya
sering sakit-sakitan, kadang dihantui mimpi-mimpi buruk padahal dalam
kehidupan sehari-hari saya membiasakan hidup sehat, merokok pun tidak
pernah, apalagi minum minuman keras, sering juga berobat ke dokter dan
ku tanyakan apa penyakitnya, dokter bilang : biasa, hanya alergi dan
cuaca.

Saya merenungkan hal ini lama sekali, apakah karena penyakitku ini ada
hubungannya dengan gangguan batin, ataukah karena umur yang semakin
tua ? Rasanya kalau umur sih enggak lah, la wong saya ini masih muda.
Sampai pada suatu hari saya bertemu dan bertukar fikiran dengan
sahabatku yang kebetulan juga seorang ahli ilmu kebatinan yang sudah
sangat tajam penglihatan mata batinnya, padahal umurnya masih sangat
muda dan dia hanya berguru kepada seorang Ustadz di kampungnya. Apa
yang dikatakan sahabatku tentang sebab musabab seringnya saya
mengalami sakit dan mimpi buruk ternyata sama dengan dugaanku yaitu
seringnya saya mengamalkan dzikir secara islami tapi juga mengamalkan
ilmu-ilmu kedigdayaan yang bersumber dari kejawen. Jiwaku, yang
diibaratkan sebagai sebuah wadah, berisikan dzikir dan amalan yang
berbeda halauan, berbeda khodam, berbeda jenis dan aliran,
mengakibatkan pertarungan batin yang tidak saya sadari, yang sangat
merusak sendi-sendi kesehatan secara lahiriah, dan merusak nilai-nilai
keimanan dipandang dari keislaman yang bertujuan mentauhidkan Allah.
Tanpa saya sadari, mengamalkan ilmu kedigdayaan mengakibatkan jiwaku
bergantung pada kekuatan makhluk, meski itu beruba khodam atau jin,
sedangkan dzikir secara islami mengajarkan untuk bergantung hanya
kepada Allah. Satu -satunya manfaat saya menggabungkan dzikir islam
dengan ilmu kejawen hanyalah pengalaman membanding-bandingkan antara
keduanya, tapi tak sebanding dengan mudharat dan ancaman dosa serta
siksa dunia akhirat yang saya terima.

Sungguh, bukan maksud kemudian hati ini merasa sayang untuk membuang
semua amalan yang berbau kejawen, namun saya ingin memastikan apa
penyebab semua problema hidup yang sering saya alami ini, apakah
karena pengaruh ilmu-ilmu kejawenku, ataukah hanya semata-mata karena
Allah sayang pada hambanya sehingga Allah banyak memberi cobaan dan
ujian kepadaku. Tapi rasanya tak bijaksana kalau kemudian saya
menyalahkan dan menuntut kepada Allah akan semua kesulitan yang saya
alami, karena pada hakikatnya dengan Rahmat dan kasih sayangNya-lah
saya masih diberi hidup untuk kemudian berfikir, dan mencari jalan
hidup yang lurus. (bersambung)

---
16 Februari 2010 22:52
By Muhammad Saroji
- Majalah Sastra - Majalahsastra.com
© Copyright - All rights reserved

Tidak ada komentar:

Posting Komentar