Mengapa,
dulu ku cinta kau dengan taruhan nyawa,
padahal dirimu cinta tiada rindu tiada,
ku bela kau dari tusuk belati orang,
aku sendiri bagai gila membabi buta,
kau pertontonkan auratmu,
dan serentak orang-orang berebut menjamahmu,
dan seketika kau hendak berlari,
tunggang langgang.
Inikah sandiwaramu,
kau jebak aku dalam kebencian semua orang,
kau hilang kata hilang rasa,
tak ada air mata meneteskan sesal,
tangisku hanya kau, mengapa kau tak menangis,
mengapa tak mengerti bahwa hidup sekarang nestapa.
Baiklah kau tersenyum saja,
agar dapat ku terbitkan kebencianku,
orang sekampung telah terlanjur membenci,
…agar dapat kutinggalkan kau dalam rasa tak teriris.
Inilah kenyataan,
agar dapat kau terbang bagai burung-burung di angkasa,
lilin di tanganku kau rautlah,
tak hendak aku membakar diri sendiri,
kau berkelanalah dalam duniamu,
menempuh hujan gerimis tanpa ratapan cinta.
Inilah malam,
pada saat seharusnya ku temui dirimu dalam kesucian,
agar dapat ku tinggalkan sepatah kata perpisahan,
(lilin itu membakar dirimu sendiri,
tak ada tangis dan cinta)
mengapa kini kusesalkan membelamu dengan taruhan nyawa,
karena cinta itu sebenarnya ada,
pada kau yang menyayangiku sebenarnya.
Mengapa ?
Mengapa tak kau katakan bahwa kataku itu menyakitkan,
mengapa tak kau buang lilin itu di derasnya air hujan,
kau membuatku menyesal berkepanjangan,
aku menyayangimu di saat kau tiada…
- - -
Ditulis di Gunung Putri - Bogor, 25 Oktober 1996
Muhammad Saroji
- Majalah Sastra - Majalahsastra.com
© Copyright - All rights reserved
Tidak ada komentar:
Posting Komentar