Di ujung kemarau,
saat dedaunan tak lagi luruh,
kekeringan menepiskan debu,
menghapuskan jejak langkahmu,
aku diam sejenak,
melupakan tawa dan perih,
berdoa,
meninggalkan petaka karma
dari jiwa sebatang kara ini.
Burung camar mengarungi samudera,
makin menjauh seperti jauhnya hatimu dari hatiku,
mungkin aku masih menunggumu di sini,
di bandara ini,
tapi bukan untuk cinta kita,
bukan.
Berhentilah mengutuk,
karena langit telah penuh dengan keluhan kesahmu,
berhentilah merajuk,
tangismu tak lebih indah dari senyuman kecut.
Gersang,
kau tau bukan apa itu gersang?
Serupa hamparan pasir tanpa padang ilalang,
tanpa gubug tempat berteduh dan seteguk air.
Aku tau kau laksana titik embun di pucuk daun,
bening dan suci di hutan yang rimbun,
berhentilah mengutuk,
karena langit telah penuh dengan keluhan kesahmu,
berhentilah merajuk,
tangismu tak lebih indah dari senyuman kecut,
berhentilah menanyakan siapa diri ini,
karena diriku tak pernah menjadi sejarah dan prasasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar