Jakarta,
ketika mata hampir terlelap,
ketika hujan baru saja reda,
aku masih juga menunggu rembulan sebesar mayang,
menunggu sinar keperakan semburatkan keindahan cakrawala.
Jakarta,
ketika itu aku bimbang,
pertemuan dua jiwa
mestinya mengalunkan dendang keindahan,
merengkuh damai dan kebahagiaan,
seperti curah hujan
membasahi bumi yang gersang,
tapi tidak
jiwa dan jiwa saling curiga,
kata dan kalimat meluncur menikam
pedih merusak kebahagiaan.
Jakarta,
ketika kebahagiaan itu mesti diperjuangkan
dengan tetesan keringat dan air mata,
toh tidak cukup !
Seperti ada panggilan dan bersumpah
untuk memerah darah hingga tetes penghabisan
hingga aku ragu
kebahagiaan itu untuk siapa,
kebahagiaan itu milik siapa.
Jakarta,
yang memisahkan Ibunda dari kasih sayang,
yang berkata ini hidup dan kehidupan
ganas dan mencekam.
Jakarta,
di puncak gedung ini aku bertanya,
kebahagiaan,
demi siapakah ?
---
15 Desember 2009 00:35
By Muhammad Saroji - Majalah Sastra
© Copyright - All Rights Reserved
Tidak ada komentar:
Posting Komentar