Senin, 24 Oktober 2016

Sajak Bundaku

Ku tinggalkan kampung dan kasih sayangmu, Bundaku,
dengan kepal doamu ku langkahkan kakiku,
bukan untuk pergi jauh, bukan,
tapi pergi untuk menuntut ilmu.


Terima kasih Bundaku,
telah kau ajari aku untuk tidak mengeluh,
mengeja hidup meramahi keganasan musim,
kapalku jangan sampai kau retak dindingmu,
karena perjalananku masih teramat jauh,
menelusuri gelombang menyeruak lautan,
menyusuri rimba menerjang ilalang,
di sini perjuanganku amat panjang,
membahagiakanmu yang telah bersusah payah melahirkan.

Berhari-hari tubuh bercucuran peluh,
dulu kau kisahkan padaku tentang kakekku,
yang berjuang berperang demi kemerdekaan bangsaku,
mengusir penjajah yang menginjak dan menghina negeriku,
bertahun telah berganti
harum nama kakekku laksana kembang melati,
sukma perjuangannya seakan berteriak,
..hancurkan para koruptor !
Singkirkan para komprador !
Bidikkan pelormu menembus jantung diktator !
Sucikan negerimu dari pejabat-pejabat berjiwa kotor !



Bundaku,
mudah berhias dan berdasi,
kini segala cita-cita telah ku raih,
tapi aku kembali membawa hati perih,
seperih hatimu ditinggal kakekku mati,
betapa banyak orang berkata dan berbicara tentang keadilan dan
indahnya kasih sayang,
betapa banyak dendang nyanyian tentang kemiskinan dan penindasan,
penggusuran dan kekufuran.


Bundaku
disini, di rantau ini
yang berbicara tetap berbicara,
yang tertindas tetap tertindas,
yang durhaka makin merajalela
yang bernyanyi tetap bernyanyi,
yang perih makin merintih.


Bundaku,
kepal doamu masih kupegang,
aku,
tak pernah berputus asa.


- - -
Ditulis di Gunung Putri - Bogor, 10 Juli 1997.
Muhammad Saroji - Majalah Sastra - http://majalahsastra.com
Copyright - All Rights Reserved

Tidak ada komentar:

Posting Komentar