Jumat, 14 Oktober 2016

Kemarau di Purnama Ke Sepuluh

Angin kemarau di purnama ke sepuluh,
menyapa garing di mukaku yang tandus.


Aku terdiam,
lolongan anjing-anjing lapar memecah kesunyian,
memecah ulu hatiku
yang menggigil kedinginan.


Aku ingin berlari,
seperti berlarinya kucing karena ketakutan.
Tak satupun tangan membukakan pintu,
ah,
ini ketakutan buat apa?


Sepuluh purnama telah berlalu,
mengiringi kemarau yang masih berkepanjangan,
langkah kaki-ku lelah-lah sudah,
menggapai cintamu,
menyatukan puing hati yang berserak,
di antara kebencian dan rasa rindu.


Aku masih gentar,
seperti remuk redamnya hati menahan titik air mata,
namun masih saja menahan amarah,
seperti lolong anjing di malam gelap itu.


Sepuluh purnama telah berlalu,
aku duduk bersimpuh,
di tepi jalan,
diam,
berdoa,
mengusir lelah
menghibur hati yang luka.


Lolongan anjing semakin dekat,
memekakan telinga,
seakan hendak mengoyak kulit dan tulang,
(seseorang menjamah tubuhku,
.......bangun mas,
sudah subuh......
Astaghfirullah,
keringat dingin bercucuran)

---
By Muhammad Saroji
- Majalah Sastra - Majalahsastra.com
© Copyright - All rights reserved

Tidak ada komentar:

Posting Komentar