Siang itu matahari sangat terik, ketika Nyai Kumprung
memanggil-manggil cucunya yang sedang memancing di kali kecil di
sebelah gubug reotnya, "Le, thole, pulango le..! sudah siang, jangan
mancing bae…!". Tapi si anak kecil itu yang tak lain adalah Si Udin
tak menoleh sedikitpun panggilan dari neneknya yang sudah tampak
sempoyongan jalannya.
"Le! thole! Apa kowe ora ngeleh, iki lho ada nasi aking kesukaanmu!"
pintanya lagi.
aaah………..aking lagi, aking lagi… cuma nasi aking doang! Aku maunya
yang kayak di tipi itu Mbah, yang ada satene" jawab Si Udin tiba-tiba
menimpali.
"Kowe iki persis kayak Bapakmu, ngaeng-ngaeng!!, nDak tau jaman lagi
sulit, ekonomi lagi pailit, mrono nyusul Bapakmu ning neraka…!!!"
teriak Nyai Kumprung sambil mengacung-acungkan pecut ranting kecil ke
arah Si Udin lalu berlalu pergi.
Lampu templok di pojok kamar meliuk-liuk ditiup angin yang dingin,
malampun kian larut, ketika terdengar Si Udin meringis merintih-rintih
di dalam kamar tidurnya. Tampak Nyai Kumprung menghampiri Si Udin yang
sedang berbaring lemas di pembaringan, "Mangkanya le… nurut apa kata
Mbah, jangan mBeling, makan yang kenyang, doain Ibumu yang sedang
merantau di Negeri orang buat nyari uang untuk sekolah Kamu, le…" kata
Nyai Kumprung sambil mengelus-elus rambut cucu kesayangannya.
Tiba-tiba Udin bangkit menatap mata Nyai Kumprung sambil bertanya
"emange Bapak di mana Mbah ?" tanya Udin memelas.
"Bapakmu mati di tembak Polisi, katanya teroris" jawab Nyai Kumprung
dengan mata menerawang.
"Teroris iku opo Mbah?"
tanya Udin lagi.
"Teroris itu orang yang suka nyolong bini orang, juga sering nyolong
uang rakyat"
jawab Nyai Kumprung geram.
"Trus….,berarti Bapakku tukang nyolong bini orang Mbah?"
tanya Si Udin heran.
Ya! Bapakmu tukang nyolong bini orang, akhirnya mati ditembak sama polisi…"
21 Mei 2011 06:31
By Muhammad Saroji
Majalah Sastra
© Copyright - All rights reserved
Tidak ada komentar:
Posting Komentar