Di ujung kemarau,
saat dedaunan tak lagi luruh,
kekeringan menepiskan debu,
menghapuskan jejak langkahmu,
aku diam sejenak,
melupakan tawa dan perih,
berdoa,
meninggalkan petaka karma
dari jiwa sebatang kara ini.
Burung camar mengarungi samudera,
makin menjauh seperti jauhnya hatimu dari hatiku,
mungkin aku masih menunggumu di sini,
di bandara ini,
tapi bukan untuk cinta kita,
bukan.
Berhentilah mengutuk,
karena langit telah penuh dengan keluhan kesahmu,
berhentilah merajuk,
tangismu tak lebih indah dari senyuman kecut.
Gersang,
kau tau bukan apa itu gersang?
Serupa hamparan pasir tanpa padang ilalang,
tanpa gubug tempat berteduh dan seteguk air.
Aku tau kau laksana titik embun di pucuk daun,
bening dan suci di hutan yang rimbun,
berhentilah mengutuk,
karena langit telah penuh dengan keluhan kesahmu,
berhentilah merajuk,
tangismu tak lebih indah dari senyuman kecut,
berhentilah menanyakan siapa diri ini,
karena diriku tak pernah menjadi sejarah dan prasasti.
Sabtu, 07 November 2015
Catatan Kecil Sang Narapidana : Luruh
Baca Juga :
Fatamorgana
Bunga Putih
Galeri Alumnus UNIAT Jakarta Tahun 1991-1998
Justice For All Nations
Kisah Perjalanan Sang Pertapa Tua (1)
Catatan Hamka
Catatan Kecil Sang Narapidana : Di Sini
Kisah Perjalanan Sang Pertapa Tua (3)
Aku Bukan Siapa - Siapa
Surat Kecil Buat Jack
Catatan Kecil Sang Narapidana : Renungan Untuk Negeriku
Catatan Kecil Sang Narapidana : Badan di Perjalanan
Catatan Kecil Sang Narapidana : Suara
Cinta Dari Balik Bilik
Catatan Kecil Sang Narapidana : Kematian
Kisah Perjalanan Sang Pertapa Tua (5)
Catatan Kecil Sang Narapidana : Pink
Catatan Kecil Sang Narapidana : Dari Bilik Kalbu
Whole
Catatan Kecil Sang Narapidana : Padamu Tuhan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar